Senin, 09 Februari 2009

Tuhan membiarkanku melalui hari-hari indah bersamanya di FK. Karenanya, aku merasa Tuhan sangatlah baik, penuh perhatian dan peduli padaku. Aku telah mengambil kesimpulan sepihak, tanpa persetujuan Tuhan dan dia, aku ngotot bahwa memang orang inilah yang dikirim Tuhan untukku.
Dia benar-benar ada di sekitarku untuk membantuku melewati jalan terjal berbatu-batu ini. Pernah suatu kali, aku tidak mendapatinya berada di sampingku. Aku sedikit kecewa. Sempat terlintas di kepalaku untuk menjatuhkan diri saja, biar tubuh lemah ini berguling ke bawah dan sampai di kaki bukit ini dengan keadaan penuh luka, supaya kemudian dia berlari mengejarku, mohon maaf, dan berjanji tidak akan meninggalkanku.
Ketika tubuhku hampir terhempas ke jalanan, sepasang tangan yang kuat dan hangat menopangku dari belakang. Dia ada di sana. Ternyata dia berjalan di belakangku, untuk mengamatiku lebih baik lagi. Supaya bisa menolongku sebelum aku benar-benar terjatuh. Aku terharu.
Betapa baiknya Tuhan! Aku hanya meminta seseorang yang dapat membantuku berdiri ketika aku terjatuh, tetapi Ia memberikan kepadaku seseorang yang tidak membiarkan aku sempat terjatuh. Sejak itu, aku tidak lagi mencarinya ketika aku tidak menemukan dia di sampingku, karena aku yakin, dia berada tepat di belakangku untuk selalu mengawasi setiap jalanku yang kadang bisa membahayakan nyawaku. Dia juga memungut semangat dan senyumku yang kadang terjatuh berceceran di jalan berbatu ini, lalu memberikannya kembali padaku dalam keadaan yang lebih baik, dibungkus kertas indah berwarna merah muda dan berpita (??).
Aku sangat menikmati hari-hari itu. Tidak ada lagi kekhawatiran. Sama sekali tidak ada. Aku dapat berjalan dengan langkah pasti sekarang, karena keyakinanku bahwa dia yang aku butuhkan selalu siap membantuku dari belakang.
Dan, tibalah hari itu.
Tak sengaja, aku menjejakkan kaki di tempat yang salah. Aku tergelincir dan hampir terjatuh. Di detik-detik terakhir aku hampir mencium tanah, aku menyerukan namanya dalam hati, sekencang mungkin agar dia mendengarku. Meski begitu, aku yakin, tangannya sudah siap mengangkat lagi tubuhku sebelum sempat kontak dengan makhluk helminth yang menggeliat-geliat girang melihatku terjatuh.
Lalu, BLAM! Tubuhku yang berat oleh beban mental ini terhempas dengan sangat sukses, menghantam bumi. Lama aku tetap terdiam di bawah. Pandanganku kosong, lalu kabur karena mataku sudah digenangi air mata.
"Dimana dia?" aku merintih. Masih dalam hati.
Aku menengok ke belakang. Tidak ada. Dia yang aku butuhkan tidak ada disana.
Akhirnya aku bisa menangkap sosoknya. Jauh di belakangku, tepat setelah tikungan tajam terakhir, makanya aku masih bisa melihatnya. Sosoknya samar tapi perbuatannya sangat jelas tertangkap kamera alami di kepalaku.
Dia mengulurkan tangannya, untuk menahan sahabatku agar tubuh indah itu tudak terhempas ke tanah yang kotor. Kemudian dia tersenyum. Sahabatku juga tersenyum. Lalu berjalan bersama. Sambil berbincang asyik tentang sesuatu yang tidak dapat kudengar.
Jarak beberapa langkah, dia mulai menggenggam tangan mungil sahabatku dan membimbingnya untuk menyeberang sungai berarus tidak deras. Paling-paling kecepatan airnya hanya satu kilometer per jam.
"Lepaskan tangan itu!" jeritku dalam hati. Tidak ada reaksi apapun darinya. Mereka semakin mendekat, masih dengan kedua tangan bertaut erat.
"Lepas! Tangan itu hanya milikku," aku kembali menjerit. Kali ini lebih keras, namun tetap dalam hati. Dari mataku yang semula berkaca-kaca, mulai meneteslah air mata yang sedari tadi tidak sabar ingin membasahi tanah.
Dengan wajah tertunjuk lesu aku menunggunya datang, menghampiriku dan kemudian menolongku.
Ketika aku mengangkat mataku, menghadang matahari, aku menemukannya di hadapanku, memandangku dengan iba, lalu mengulurkan tangannya untuk menggapai aku dan membantuku berdiri. Tapi sebelum itu semua terjadi, sebelum lengannya yang kuat menyentuh tubuhku, aku mengembangkan senyum terbaikku.
"Ga apa-apa, kok. Aku bisa bangun sendiri."
Terdengar tegar, kan? Tapi kata-kata itu terucap setengah suara dan bergetar hebat. Jelas sekali, dipaksakan.
Aku berdiri, tanpa sempat memandangnya dan berkata-kata lagi, aku mulai berlari.
Aku menangis dalam hati, dan mulai mencari Tuhan, "Tuhan, bukan dia orangnya, ya? Bukan dia kan Tuhan? Dia bukan untukku. Dia untuk orang lain. Kalau begitu kenapa Kau biarkan aku dekat dengannya? Kenapa Kau mengijinkan dia mengambil setengah hatiku, Tuhan? Apa yang Kau mau dari penderitaanku ini?"
Bersamaan dengan itu, samar-samar kudengar dia berteriak dari belakang, dengan nada cemas, "Hati-hati, nanti kamu jatuh lagi!"
Kenapa Tuhan membiarkan aku berharap?
Kalau pada akhirnya dia akan menjadi milik orang lain, kenapa dia harus dekat denganku dulu? Kenapa Tuhan memberikan waktu yang cukup panjang untuknya bersikap baik terhadapku?
Apakah agar aku terluka?
Inikah yang memang harus aku lalui?
Tersenyum bahagia, sejenak kemudian tersenyum getir dan harus menghadapi kenyataan menyedihkan sendirian? SENDIRIAN?
Inikah hukuman untukku karena aku pernah meninggalkan orang yang sangat mencintaiku? Apakah aku harus kembali padanyaa dan setelah itu baru Tuhan puas?
Itukah yang harus kulakukan untuk mencapai hidup yang bahagia?
Masih dalam keadaan berlari, aku mengerem tubuhku, mendadak.
Ada anak laki-laki kecil di depanku sekarang. "Permisi, kakak mau lewat."
Dia bergeming. Matanya memandangku penuh kehangatan.
"Kak, tidakkah kakak berpikir, kakak itu egois?"
Seperti ditampar rasanya. Wajahku memerah. Begitu juga telingaku. Apa-apaan anak ini? Tiba-tiba hadir di hadapanku, memandangku dengan hangat tapi langsung mencelaku tanpa ampun?
Aku memandangnya dengan bingung, juga dengan tatapan marah. "Apa maksud kamu?"
"Apakah ada orang yang hidupnya hanya untuk seseorang saja? Bukankah wajar jika dia membantu sesamanya, Kak? Kenapa harus kesal karena dia menolong orang lain? Tidakkah Kakak pernah bertanya, apa Kakak sendiri pernah memikirkan orang lain? Pernah tidak, Kakak menolong teman Kakak yang terjatuh? Atau dari semula Kakak memang sudah menjaga jarak supaya tidak perlu membantunya ketika dia terjatuh atau menopangnya seperti yang dilakukan orang yang Kakak harapkan, pada Kakak?"
Rasanya tidak hanya seperti ditampar bolak-balik tapi juga dihantam karung beras 25 kg dari kanan kiri. Apalagi semua ini dikatakan oleh anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Memangnya tidak boleh, aku berharap bahwa dia hanya untukku?
"Bapa-Ku yang di surga mengirimkan dia khusus untuk Kakak, tapi bukan berarti seluruh hidupnya hanya untuk membantu Kakak. Bapa membutuhkannya juga untuk menunjukkan pada orang lain bahwa Dia mencintai manusia dan tidak pernah membiarkannya terjatuh. Bapa hanya meminjamnya sebentar, Kak. Bila Tuhan sudah memberikan yang terbaik pada Kakak, tidakkah Kakak membiarkan Tuhan memakainya sebagai perpanjangan tangan-Nya sebentar saja? Ada banyak orang yang perlu ditolong oleh Tuhan, tapi belum saatnya hadir seseorang yang khusus untuk mereka. Sementara itu, mau kan Kakak membiarkan Tuhan memakainya untuk menolong orang lain? Berbagi kebahagian pada mereka dengan cara mengijinkan mereka juga merasakan berkat yang sudah Tuhan berikan pada Kakak."
Aku berdiri mematung. Tubuhku beku meski ini bukan Kutub Utara.
Anak itu meraih tanganku. Memegangnya dengan erat lalu berkata lagi, "Aku temani Kakak menunggu dia, ya. Jangan resah kalau Kakak tidak menemukan dia di sekitar Kakak. Aku juga ada di sana, kok. Siap membantu Kakak ketika Bapa lebih membutuhkannya dari pada Kakak."
Tak lama, dia yang jadi ide utama perbincangan singkat penuh celaan ini tiba.
Anak itu membimbingku menghampiri dia yang kami bicarakan.
"Kak, tolong jaga Kakak ini, ya," katanya pada dia sambil tersenyum.
Lalu dia, yang baru saja tiba tanpa sahabatku di sampingnya, meraih tanganku dari tangan anak itu, memandangku dan berkata, "Tanpa diminta pun, aku pasti akan selalu menjaganya."

1 komentar:

  1. tipikal blog wanita :D
    welcome to the world where no one belongs!

    BalasHapus