Minggu, 08 Februari 2009

Semalam bantalku kebanjiran lagi. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan kecewa yang beberapa hari ini berkecamuk tidak hanya di pikiranku tapi juga di hatiku. Sebetulnya aku ingin berdoa, tapi yang terjadi malah lebih mirip rutukan pada Yang Maha Kuasa. Sambil mengalirkan air mata, aku mendesahkan berbagai keresahanku dalam hati.
Aku bukan orang jahat, kupikir. Ya, aku bukan orang jahat dan kejam pada orang lain. Aku bukan orang yang pantas menerima ini semua dari Tuhan, menurutku. Aku sudah hidup dengan baik. Aku cukup rajin berdoa meski jarang. Oke, setidaknya aku masih ingat aku punya Tuhan. Aku tidak pernah melakukan hal buruk sampai harus dihujani perasaan kecewa sebesar ini.
Masalahnya sepele saja. Aku minta pada Tuhan, seseorang. Dan Tuhan memberikannya, sebentar. Hanya sebentar. Betul-betul sebentar. Hah! Sempat aku merasa benci pada Tuhan. Rencana apalagi yang Ia rancang untukku? Rencana yang pastinya semakin membuat aku tidak mengerti apa yang Ia mau dariku.
Baiklah, kira-kira itulah kata-kata yang paling sesuai untuk menggambarkan apa yang aku rasakan sekarang. Nah, berikutnya akan aku ceritakan semuanya dari awal. Sangat awal. Dan sangat lengkap. Juga sangat jujur. Berbahagialah kalian yang membacanya.
Jadi, aku bukan orang jenius yang secara kebetulan terdampar di tempat terpencil ini. Sebuah kota kecil (aku tidak yakin kini aku tinggal di sebuah kota) yang tidak terlalu jauh dari Bandung. Di sinilah universitasku, maksudku, universitas tempat aku menimba (atau mengais) ilmu, berdiri. Mereka menamakan kota ini, atau mungkin lebih enak disebut daerah ini, Jatinangor. Yah, tepat sekali, aku kuliah di Universitas Padjadjaran.
Mau tahu jurusan apa yang kupilih? Aku berhasil mengisi kursi di jurusan IPA yang paling banyak peminatnya, karena cukup bergengsi, sepertinya. Lagi-lagi tepat, aku kuliah kedokteran sekarang.
Senang? Hm, aku harus berpikir dua kali untuk mengatakan ya. Pertama, sebelumnya aku sudah menempuh satu tahun kuliah di universitas swasta di Bandung, jurusan Teknik Industri. Aku mendapatkan zona nyamanku disana. Teman-teman yang amat sangat menyenangkan dan yang jelas tempat melepas penat yang layak disebut mall. Aku juga tidak perlu tinggal jauh dari orang tua. Setiap hari aku makan enak, mau pulang tinggal telepon papa, kemana-mana tinggal panggil taksi. Jika ditanya apakah aku senang, tidak perlu menunggu, akan keluar jawaban ya dari mulutku ini.
Kedua, yang berhasil aku dapatkan adalah bangku kedokteran. Sudah terbayang dengan jelas jalanku di depan sana. Terjal. Berbatu. Banyak rintangan. Berdebu(?). Pokoknya tidak enak dilihat, tidak membangkitkan minat belajar. Sudah pula berputar-putar di kepalaku ini, buku-buku setebal batu bata yang bisa membuat maling patah leher kalau kena timpuk. Jadi, apakah aku akan tetap berkata ya, untuk pertanyaan itu, sementara jalan yang tidak mudah ini akan kulalui selama enam tahun? Kurasa tidak semudah itu.
Yang membuatku pada akhirnya bisa menjawab ya untuk pertanyaan keramat itu, satu-satunya karena aku SENANG bisa melihat orang tuaku senang. Papa mama girang bukan kepalang mengetahui anaknya yang berkapasitas pas-pasan ini lolos lubang jarum, masuk ke universitas negeri berbiaya murah, jurusan bergengsi pula. Benar-benar hanya itulah satu-satunya pendorongku untuk juga merasakan kesenangan “semu” di tempat baru ini. Tempat dimana aku harus memulai segalanya dari awal lagi, dari nol. Dan sendirian.
Aku bisa meramalkan kehidupanku beberapa tahun ke depan. Penuh perjuangan. Perjuangan berat. Baiklah.
OSPEK FKUP (Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran) tidak seburuk yang kupikirkan, maksudku, kubayangkan. That was so fun! I really enjoyed it. Sirna sudah angan-anganku tentang horornya OSPEK Kedokteran. Semua tergantikan oleh puasnya batinku mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh akang-teteh yang super duper baik hati itu.
Mungkin dua minggu lamanya aku terlena dengan suasana santai OSPEK FKUP. Dan ketika aku mulai dihadapkan pada kenyataan, BOOM!! Seolah bom waktu yang menungguku sejak tahun lalu itu meledakkan dirinya tanpa ampun. Serpihan-serpihan semangatku berhamburan kemana-mana. Keteguhan hatiku kadang tergeletak tak berdaya di tengah jalan, terpapar radiasi sadis sinar matahari dan siap terinjak-injak jika tidak ada yang segera datang memberikan pertolongan darurat.Lalu si Keteguhan Hati ini merintih minta belas kasihan pada Tuhan yang samar-samar nampak jauh di atas sana.
Sedikit flashback. Ketika SMA dan hampir setahun aku duduk di bangku kuliah, aku ditemani oleh laki-laki setia yang mengaku sayang pada aku yang lemah dan berdosa ini (?). singkatnya, aku punya pacar. Baik. Setia. Tipe idaman meski tidak seganteng Brad Pitt atau setenar Robert Pa.. apa gitu. Yang jelas aku bahagia bersama dia, awalnya.
Ketika aku mulai sibuk dan stress dengan kuliahku kala itu, dan laki-laki baik ini, pacarku maksudnya, juga sibuk dengan dunianya sendiri (bukan, bukan autis), kami jadi (semakin) jarang bertemu, jarang ngobrol dan akhirnya kehadiran sosok lain yang juga laki-laki hampir berhasil menggantikan posisinya dihatiku.
Ya, ya, aku tertarik pada orang lain, yang perhatiannya tidak sebatas sms, yang senyumnya tidak sebatas ingatanku, yang kehadirannya nyata. Menurut kalian aku buruk? Baiklah, mungkin saat itu aku memang buruk.
Tapi, mengertikah kalian bagaimana rasanya kehilangan perhatian yang sebenarnya sangat kita butuhkan? Seperti sayur tanpa garam (klise), bagaikan dangdut tanpa bergoyang (baru oke). Kira-kira begitulah, mengapa aku bisa dengan mudahnya berpaling ke lain hati (no,no, actually not that extreme).
Akhirnya aku putus dengan pacarku yang sangat baik hati dan sama sekali tidak jadian dengan si Pencuri Hati itu. Ya, aku jomblo bahagia saat memasuki babak baru kehidupan “liar” di FK. Aku berkata dalam hatiku sendiri untuk tidak lagi memikirkan masalah tidak-penting-tapi-sangat-menyita-perhatian itu. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu menjalani kehidupan berat ini tanpa oknum S a.k.a my boyfriend dan oknum I a.k.a my boyfriend wanna be. Aku bisa tanpa cowok, itu yang aku tanamkan dalam-dalam.
Karena ditanam terlalu dalam dan dipupuk setiap harinya sesuai anjuran, aku sampai berpikir untuk tidak berkeluarga. Aneh? I don’t think so. Memang, itulah rencanaku setelah putus dari Irwan. Sangat lelah dan teramat malas berurusan lagi dengan cowok dan hati. Dua kata yang akan jadi rumit jika terdapat dalam satu hubungan yang dibumbui perasaan lebih.
Dan itulah yang membuatku semakin terpuruk ketika menjalani bulan-bulan pertama keganasan FK. Aku dilanda stres berat. Sampai-sampai terkena sindrom pelupuk-mata-berair-tanpa-ampun. Jadilah aku makhluk hawa menyedihkan yang cengeng. Biasanya, akan ada si S tempatku berbagi keluh kesah atau I si Pelawak dadakan. Sekarang aku harus menghadapinya sendiri. Cewek-cewek disekitarku juga tidak dalam kondisi prima (baca: sama-sama stres) untuk bisa menghiburku. Sebenarnya, di saat-saat beginilah cowok itu diperlukan kehadirannya, karena kaum ini cenderung tidak punya hati untuk bisa merasakan yang namanya ‘really down to earth’.
Akhirnya di suatu hari yang cerah, yang tidak secerah hatiku, aku bertelut memohon pada Yang Kuasa. Aku mohon ampun atas apa yang pernah terucap dalam hati. Aku menarik kembali kata-kata ‘Aku bisa tanpa cowok’ di hadapan-Nya. Aku mengakui kelemahanku dan berkata dengan jujur, dari hati yang paling dalam, “Aku butuh teman, Tuhan. Seseorang yang bisa membantu aku berdiri ketika aku jatuh, yang akan mengajakku berlari dengan penuh bersemangat, yang dapat meyakinkanku bahwa aku mampu, dan yang akhirnya akan selalu ada di sisiku karena dia memang menginginkannya."
Lalu aku menitikkan air mata. Datang lagi sindrom itu. Dan ini sudah jadi kronis, otot sekitar mata untuk menahan air mata sudah tidak lagi mampu berkontraksi, sehingga kapan saja air asin yang bukan berasal dari laut ini bisa merembes keluar seenak perutnya.
Terlambat sepertinya aku menyadari ini, tapi lebih baik dari pada tidak sadar sama sekali. Aku baru saja melepaskan apa yang aku inginkan. Apa yang aku minta pada Tuhan itu sudah pernah aku dapatkan, aku sudah pernah memilikinya, tapi kemudian aku lepas dengan mudahnya karena beberapa alasan yang setelah kutinjau ulang, sangatlah tidak dipikir pakai otak dan hati, seperti :
Dia hanya beberapa kali tidak ada saat aku benar-benar membutuhkannya. Mungkin hanya sepuluh dari seratus. Dia tidak lebih tinggi dariku. Dia kuliah di kampus yang berbeda. Dia tidak suka musik. Dia, sekali saja, mementingkan teman-teman kuliahnya dibanding aku.
Entah kerasukan setan apa aku sampai meminta putus darinya. Agak sinting memang, tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Dan supaya bubur itu jadi enak, kini aku harus mencari topping bubur berkualitas tinggi, lengkap dengan kerupuknya!
Pencarianku tidak membuahkan hasil. Semakin giat mencari, semakin gigih juga para laki-laki menjauh (berlebihan). Aku memanjakan mata ini dengan menikmati keindahan yang disuguhkan Tuhan secara gratis. Memang FKUP tergolong “hijau”. Tapi karena aku “pilih-pilih”, itu tadi, tidak ada satupun yang terjaring oleh penjala manusia gagal ini.
Akhirnya, aku berdoa lagi, dari kejujuran hati, keluarlah kalimat yang cukup bijaksana ini, “Tuhan, siapapun yang kau berikan nanti, aku tidak akan menuntut sesuatu atau banyaksuatu yang tak tergapai meski aku melompat. Aku terima siapapun dia apa adanya. Aku tidak akan lagi melihat kekurangannya. Bantu aku untuk selalu mempertimbangkan segala kelebihannya. Fisik tidak lagi penting buatku, Tuhan. Dan, tunjukkanlah dia padaku, jika sudah tiba saat yang tepat. Amin."
Aku sendiri sedikit takjub dan terperangah. Bisa juga aku berkata seperti itu pada Tuhan. Dan, masih ada kata-kata mutiara lanjutan dari hatiku ini, “Dan seandainya saja orang itu tidak ada untukku, aku siap berdiri sendiri asalkan Kau selalu disisiku.”
Dan akhirnya, di sinilah aku saat ini. Melihat lagi ke belakang, mengira-ngira. Aku sedang dekat dengan seseorang sampai saat ini. Kami sangat dekat, setidaknya begitu menurutku. Dan menurutku lagi, dialah orang yang dikirim Tuhan untuk membantuku menjalani kejamnya dunia FK.
Dia datang tepat di saat aku membutuhkannya. Sebenarnya, ini juga yang terjadi padaku dan oknum I dulu. Datang saat aku butuh bantuan. Bedanya, I datang saat aku butuh teman untuk bicara, dan orang ini datang saat aku butuh seseorang yang bisa menyelamatkan aku sebelum aku tenggelam di lautan tugas yang sedang dilanda badai stres kelas kakap.
Dia bukan hanya menarik aku dari sana, dia juga membantuku berdiri lagi ketika aku jatuh, memberi cahaya ketika semangatku hampir padam, dan menyediakan sebagian besar waktunya untukku. Mungkin bukan begitulah kenyataannya, mungkin bukan itu yang sebenarnya terjadi, tapi seperti itulah yang tertangkap oleh mata hati bodohku yang penuh kegeeran ini.
Dia telah membuatku berharap.
Terlebih, ketika aku merasa dia telah banyak menolongku, justru dialah yang merasa, aku ini penolongnya, yang selalu memberinya semangat.
Saat suatu siang aku berkata pada Tuhan aku butuh seseorang untuk berbagi, dan malamnya dia menyediakan dirinya untuk menyimak keluhku, saat itulah mataku seperti terbuka dan bertanya, “Inikah orangnya, Tuhan?”
Hanya pada dia, aku berani menceritakan segala sesuatunya dengan detail. Selengkap-lengkapnya. Hanya dia yang selalu menanyakan perkembangan "kasus"ku. Maksudnya cerita-cerita tentang kehidupanku. Dan yang terpenting, hanya dengan dia, aku bisa berdiskusi tentang segala hal yang ada dipikiran tak-terpahami ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar